Tag Archives: lingkungan

Kasus BPG

Menelesuri Aset Keluarga Cendana yang Bermasalah dengan Rakyat Kecil (5)

215 Merajan Digusur, 223 Pejabat Terima Tanah Kavling 17,5 Ha
Upaya pembebasan lahan warga Banjar Cengiling tidak hanya terindikasi melanggar hak asasi manusia (HAM), melawan hukum dan aturan birokasi, tapi juga moral. Seperti apa ?

INDIKASI Terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terlihat jelas dalam perkara Bali Pecatu Graga (BPG). Dengan dalih pembangunan, warga digusur, tanahnya dibuldoser tanpa ada perlawanan berarti. Malah ada yang disiksa demi memuluskan ambisi Pangeran Cendana membangun resort diareal lahan seluas 950 ha di kawasan Pecatu. Ironisnya, masih banyak yang belum mendapatkan ganti rugi seperti perjanjian yang ditandagani Gubernur Ida Bagus Oka dengan PT BPG, hingga saat ini. Toh jika sudah ada yang mendapatkan ganti rugi material, sertifikat tanah penganti yang dijanjikan sejak 13 tahun lalu, tak kunjung beres. Salah satunya yang dialami Made Dana, pemilik persil 93 c yang tanahnya diakui BPG telah masuk dalam sertifikat HGB 53/Desa Pecatu.”Yang unik kendati telah mengakuisisi tanah Made Dana, pihak BPG tidak tahu persis apakah tanah seluas 2 ha milik Dana, masuk dalam sertifikat HGB. Kebingungan itu diakui Nyoman Sukandia, kuasa hukum BPG saat persidangan di PN Denpasar,”urai Putu Wirata Dwikora, Koordinator BCW Bali dalam buku pledoi kasus BPG. Kenapa bisa demikian ? Tidak jelas. Informasinya, sertifikat tersebut dibuat tergesa-gesa, semata-mata hanya proforma diatas kertas. Sehingga ketika dicocokkan dengan kenyataan di lapangan, menciptakan kebingungan yang luar biasa. Justru sertifikat itulah yang dijadikan dasar untuk menyeret Made Dana dan Wayan Rebho ke balik jeruji besi. Kok bisa ? Pasalnya, dengan alasan melindungi tanahnya dari gusuran buldoser pihak BPG, Made Dana minta bantuan kawan-kawannya untuk memagar tanah garapannya, salah satunya adalah Wayan Rebho. Tapi upaya warga berakhir penahanan terhadap keduanya setelah kuasa hukum BPG Nyoman Sukandia mengadukannya ke Polda. Pengaduan Sukandia sendiri agak konyol. Semula polisi menggunakan tuduhan “penyerobotan”tanah sebagai dasar tuduhan. Kemudian setelah berkas tiba di kejaksaan, tuduhan diganti dengan melakukan perbuatan yang menyebabkan perasaan tidak senang, seperti diatur dalam pasal 335 pasal 1 ayat 1 KUHP. Itu baru contoh pelanggaran hukum. Sementara pelanggaran birokrasi paling kentara ketika Gubernur Ida Bagus Oka menandatangani perjanjian tukar gulir dengan BPG. BPG boleh mendapatkan tanah negara tersebut dengan menukarnya dengan tanah sawah yang luasnya 1,5 kali lipat (diganti 1 kali lipat), terletak di beberapa kabupaten di Bali. Tanah pengganti ini akan dijadikan kas desa, terminologi yang belum jelas maksudnya. Perjanjian ini mendapat persetujuan DPRD Bali, lewat ketua Komisi A yang diketuai Ida Bagus Putu Wesnawa, saat itu. Dalam butir perjanjian itu terdapat sejumlah ketentuan, antara lain bahwa PT BPG baru boleh beroperasi setelah tanah pengganti diberikan dan bila sampai enam bulan sejak perjanjian disepakati ketentuan belum dilaksanakan, perjanjian itu batal. Namun, perjanjian itu rupanya cuma diatas kertas. Sebelum jelas dimana letak tanah penggantinya, bagaimana nasib para petani penggarap tanah negara tersebut, BPG sudah berhasil mengantongi belasan sertifikat termasuk sertifikat HGB No. 53/Desa Pecatu tersebut. Gubernur tak berkutik dan DPRD Bali tidak mengontrol. Dan ternyata pula, bahwa sertifikat HGB No. 53/Desa Pecatu tersebut mengandung sejumlah cacat. Diantara cacat-cacat yang penting itu adalah, luas tanah di sertifikat melebihi luas tanah asal, yang menunjuk batas-batas tanah adalah BPG (seharusnya perorangan, bukan badan hukum), sertifikat diterbitkan pada hari yang sama dengan tanggal permohonan diajukan oleh BPG (sesuatu yang mustahil kalau bukan karena kesewenang-wenangan kekuasaan), tidak ada peta situasi di lapangan dan tidak ada masa berlaku HGB.”Diluar cacat birokrasi itu, serangkaian prosedur dan peraturan perundang-undangan dilanggar tanpa ampun oleh berbagai pihak yang berkaitan dengan penerbitan sertifikat tersebut,” katanya. Apa yang oleh Pemprov Bali diklaim sebagai tanah dana bukti, ternyata cuma terminologi untuk berdalih buat mengambil tanah negara dengan cara yang mudah. Padahal sesuai ketentuan perundang-undangan, tidak dikenal nama tanah dana bukti¸ dan karenanya tanah garapan petani di Desa Pecatu itu sebetulnya tanah negara. Apalagi, tanah yang disebut tanah dana bukti itu ternyata tidak terdaftar dalam catatan dokumentasi dan inventarisasi Pemprov Bali. Ironisnya, belum tuntas kasus tersebut, tiba-tiba muncul ke permukaan adanya 223 pejabat dan anggota DPRD yang mendapat kavling tanah di Pecatu. Total luasnya 17,5 hektar pada tahun 1995/1996. Termasuk diantaranya adalah pejabat penting di lingkup Pemkab Badung, Pemprov Bali dan sejumlah jenderal yang tinggal diluar Bali. Paling fatal adalah pelanggaran moral. Catatan Gde Berata, koordinator petani korban BPG, selama proses pengusuran berlangsung antara 1995 hingga 1996 lalu, 215 merajan warga banjar Cengiling, hilang digusur tanpa diupacarai terlebih dulu.”Kita tidak bisa melawan karena dihalangi aparat,”lontarnya. Anehnya, kata dia, tidak ada sikap dari pemerintah maupun PHDI, selaku lembaga umat. Padahal perusakan merajan telah dilaporkan.”Terus terang kita sedih, kok tidak ada yang terketuk hatinya melihat perusakan merajan ini. PHDI juga diam,”tohoknya. Dengan banyaknya pelanggaran yang dilakukan BPG, sepatutnya pemerintah bersikap. Menurutnya, Gubernur harus berani mengambil sikap menyetop sementara waktu pembangunan di areal BPG sampai seluruh proses ganti rugi clear. Atau perjanjian dibatalkan sesuai ketentuan pasal 3 ayat 1 perjanjian tukar guling antara Pemprov dan BPG nomer No 593/15438/perl dan nomer 011/BPG-Dirut/SPK/X/1995. Kalau toh dipaksakan, korban menuntut ganti rugi Rp 164 miliar seperti yang dituntut semula, segera dibayar. Uang sebanyak itu, menurut Berata, sebagai kompensasi atas tanah, bangunan, pekarangan dan hasil kebun milik sebagian korban yang belum mendapat ganti rugi.”Tuntutan itu sudah kita layangkan ke Mas Tommy 27 September 2007 lalu. Tapi belum ada jawaban mengenai ganti ruginya,”pungkasnya. (*)

Kasus BPG

Menelusuri Aset Keluarga Cendana yang Bermasalah dengan Rakyat Kecil (4)

Diselamatkan Robohnya Tembok Pembatas, Kerap Dilempar Bola Golf
Diantara para korban PT Bali Pecatu Graha (BPG), Wayan Suwindra mungkin yang paling menderita. Selain kompensasi ganti rugi tak kunjung diterima. Rumah bapak tiga orang putra ini dikungkung diareal lahan PT BPG layaknya hidup di penjara. Tak heran akses komunikasi dan transportasi ke tetangganya ikut terputus.

UNTUK Mencapai rumah Wayan Suwindra tidaklah mudah. Selain harus melompati tembok setinggi 2 meter yang roboh digerus air hujan. Koran ini yang diantar koordinator petani banjar Cengiling Gde Berata harus berjalan menyusuri semak-semak kurang lebih 1 km menembus padang golf yang dikelola Club House dan Hotel Lor Inn yang baru dalam tahap pengerjaan. Kondisi jalannya pun tidak mulus. Tapi penuh terjal dan berliku. Belum lagi harus menginjak kotoran sapi yang banyak berserakan ke arah rumah Wayan Suwindra. Mendekati rumah Suwindra tak kalah tragis. Rumah berikut pekarangan seluas kurang lebih 1 ha, ditutup dengan tembok setinggi 2 meter. Artinya, untuk menuju rumah Suwindra, harus melewati dua tembok sekaligus. Pertama tembok yang menutup areal lahan BPG dan satu lagi yang menutupi rumahnya. Ironisnya, untuk mencapai pintu rumahnya, harus berputar ke arah belakang. Sementara pintu ada dibagian depan arah Hotel Lor Inn.”Silahkan masuk pak. Maaf, bapaknya lagi kerja. Segera saya panggil,”ujar Ni Wayan Sariami, istri Suwindra saat menyambut Koran ini.
Sibuk memanggil suaminya, Koran kemudian memutuskan mengamati sekeliling rumah Suwindra. Sangat ironis. Selain hidup sendiri, keluarga kecil ini harus hidup dengan segela keterbatasan. Mulai listrik yang harus rela nyambung kabel ke rumah tetangga. Hingga masalah air bersih. Layaknya warga Bukit Jimbaran era 90-an lalu. Suwindra dan istrinya harus menampung air hujan untuk kebutuhan hidup sehari-hari.”Kalau musim kemarau terpaksa mereka harus beli air tangki,”kata Gde Berata menimpali. Parahnya, akses mobil tangki menuju rumahnya harus melewati areal PT BPG. Tentu saja masuknya mobil tersebut dilarang manajemen karena dikuatirkan merusak rumput lapangan golf. Jalan satu-satunya mobil tangki tersebut masuk rumah tetangganya yang berjarak hampir sekilo dari rumahnya. Mempergunakan ember, dia kemudian pindahkan air tangki tersebut ke rumah. Untungnya akses jalan menuju rumahnya masih bisa ditembus pasca robohnya tembok penghalang. Sekian lama ngobrol, akhirnya Wayan Suwindra datang.”Maaf lama menunggu mas,”sahutnya sambil melepas baju kerja warna hijau. Belum sempat ditanya, Suwindra langsung nerocos.”Ya begini rumah kami mas. Seperti di penjara. Keluar masuk rumah sendiri tidak bisa leluasa gara-gara ada BPG,” lontarnya. Kenapa tidak merelakan saja tanahnya dan diganti rugi oleh BPG ? Suwindra mengaku sudah melakukan. Sejak 2006 lalu, dirinya telah mengajukan proposal jual beli dan ganti rugi tanah penganti ke BPG. Awalnya dia minta tanah penganti di Balangan. Tanpa ada alasan jelas, permintaan tersebut ditolak. Jalan terakhir, dia minta pindah ke banjar Cengiling. Berapa minta ganti rugi ? Untuh tanah, pekarangan plus bangunan rumah dan pura (termasuk biaya upacara), Suwindra minta Rp 1 miliar. Jumlah uang tersebut menurutnya, telah sesuai kesepakatan rapat keluarga. Bagaimana hasilnya ? “Sampai saat ini tidak jawaban,”papar pendiri Koperasi Asrama Giri dan Kontak Tani Jaya ini. Dengan kondisi terpaksa, dia meninggali rumah tersebut bareng istri dan tiga orang anaknya. Parahnya, pilihannya mengundang banyak resiko. Selain akses komunikasi dan transportasi terbatas. Rumahnya kerap menjadi sasaran bola golf. Kok ?”Ada saja yang nyelonong ke rumah mengenai genteng hingga pecah,”jelasnya mengaku kerja harian sebagai penyambit rumput di proyek BPG dengan gaji Rp 30 ribu. Sementara itu asisten direksi PT BPG Made Arisandi membantah pihaknya telah melakukan kesewenang-wenangan ke warga. Kata dia, proses ganti rugi, telah dilakukan sesuai perjanjian. Pun terhadap Made Koplan, Made Koder, Nyoman Nyendra, minus Wayan Suwindra. Sambil menunjukkan kuitansi transaksi dan ganti rugi tanah penganti. Yang menarik Arisandi tak membantah uang Rp 30 juta plus Rp 5 juta untuk uang pindah rumah, diberikan sebagai hadiah.”Tapi itu juga kami artikan sebagai ganti rugi karena tercatat ada kata kompensasi,”dalihnya. Justru dia menuding warga melakukan tindakan provokasi membatalkan mega proyek tersebut. Menyangkut pengabaian proposal yang diajukan Wayan Suwindra, Arisandi menyatakan telah membicarakan dengan direksi. Hanya saja tingginya ganti rugi yang dituntut menyebabkan pihaknya harus berpikir ulang. Kendati demikian, dia membantah dengan tegas kalau BPG membatasi akses komunikasi maupun transportasi keluarga Suwindra. Terbukti berdasarkan versi Arisandi, baik air maupun listrik, keluarga Suwindra dan Wayan Suana (tetangganya), masih mendapat jatah dari BPG.”Kita juga buatkan jalan kok,”imbuhnya. Sementara menyangkut tudingan minimnya pekerja yang diambil dari warga sekitar, Arisandi juga membantahnya. Kata dia, 70 persen pekerja PT BPG mulai dari tingkat redahan sampai manajemen, diambilkan dari warga. Hanya pada posisi tertentu, diambilkan orang luar.”Saya kira itu sudah proporsional,”pungkasnya.(*)

Kasus BPG

Menelusuri Aset Keluarga Cendana yang Bermasalah dengan Rakyat Kecil (3)

Direndam di Kolam Hingga Ada yang Mati Berdiri
13 tahun konflik warga Banjar Cengiling dengan PT Bali Pecatu Graha (BPG) berlangsung. Selama itu pula, banyak kewajiban yang diabaikan perusahaan milik pangeran Cendana. Yang terjadi justru penindasan terhadap rakyat.

DARI Sekian korban kebiadaban aparat, centeng dan tangan kanan pangeran Cendana, Hutomo Mandala Putra alias Tomy adalah Wayan Nyendra. Bareng Wayan Rembo, Nyendra sempat merasakan dinginnya ruang penjara Korem Wirasatya. Dia juga pernah menerima perlakuan kasar aparat yang merendamnya di bak kolam belakang Makorem dibawah kawalan Danton Mulyoto. Gara-gara kegigihannya mempertahankan tanah ulayat seluas 1 ha 80 are yang ditempati bareng keluarganya sejak ratusan tahun lalu.”Tanah itu semua diminta oleh BPG. Tapi saya tidak mau kasih berapa pun mereka mau bayar,”ujar Wayan Nyendra saat ditemui Radar Bali disebuah kebun di Banjar Cengiling dua hari lalu. Kegigihan Nyendra bukannya tanpa sebab. Salah satu alasannya adalah keberhasilan warga Banjar Cengiling yang diwakili kelian banjar Ketut Karma meraih kalpataru dari Presiden Suharto. Setelah dinyatakan berhasil menghijaukan kawasan tersebut tahun 1981 silam. Tidak tepat menurut Nyendra, jika kawasan yang terlanjur susah payah di hijaukan kemudian di gempur. Karena kegigihannya itu pula, setiap tindak tanduknya menjadi sorotan aparat. Beberapa personel aparat yang kerap mengintimidasinya dan diingat hingga sekarang adalah Pak Siswo dan Marcio. Merekalah yang kerap memintanya segera menandatangani transaksi jual beli.”Tapi saya tetap menolak,”katanya. Buntutnya, Nyendra akhirnya diseret ke Makorem dan di tahan selama tiga hari. Parahnya, saat menjalani hukuman baik direndam maupun ditekan secara non fisik. Aparat tak bosan-bosan mengintimidasi keluarganya. Saking takutnya, paman Nyendra akhirnya luluh. Transaksi jual beli dan kompensasi tanah penganti pun di sepakati tanpa sepengetahuannya.”Tahu-tahu setelah saya pulang ke Cengiling, rumah dan tanah saya sudah rata di buldoser,”jelas Nyendra yang kini hidup menumpang dirumah Wayan Suena, kerabatnya sambil bercocok tanam jagung dan memelihara sapi di lahan milik Karma Cs. Ironisnya, janji BPG memberi kompensasi tanah penganti seluas tanah yang di ambil maupun uang hadiah Rp 30 juta plus Rp 5 juta untuk pindah rumah tahun 1996 lalu hingga kini tidak terealisir. Kondisi ini terang saja membuatnya patah arang. Sepertinya bagi dia yang rakyat kecil, sulit mencari keadilan ditanah sendiri.”Sebenarnya saya tidak anti pembangunan. Hanya saja harus proporsional,”tegasnya. Paling fatal di alami Made Genap. Kegigihannya mempertahankan tanah dan rumahnya, harus ditebus ke akhirat. Made Genap mati berdiri setelah mengetahui buldoser yang dioperasikan BPG mengobrak-abrik tanah, rumah dan pekarangannya. Keluarga Made Genap sekarang mengungsi ditempat tersembunyi. ”Mereka itu menolak pindah mengingat kompensasi yang diberikan terlalu kecil,”aku Gde Beratha, koordinator warga Banjar Cengiling dalam kasus sengketa tanah dengan BPG. Lantas ? Berata di depan warga menjanjikan akan mengembalikan Kalpataru yang diperoleh bapaknya ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jika tidak ada respon dari pemerintah pusat. Kok ? “Kita sudah mencari jalan terbaik menyelesaikan masalah ini. Seperti minta bantuan Camat maupun Gubernur. Tapi tidak ada respon dari BPG. Karena itu saya fikir, kita harus berjuang ke pusat, menemui Presiden,”tandas Berata. Dan dia yakin usahanya ini bakalan berhasil mengingat Presiden SBY adalah mantan atasannya saat bertugas di Korem Dili Timor-Timor era 80-an lalu. Malah hingga kini, hubungan dia dengan Presiden SBY, terjalin cukup apik.”Tapi ingat, saya tidak memanfaatkan kedekatan saya ini dengan Presiden untuk menekan BPG. Yang kita inginkan, ada ganti rugi yang wajar untuk warga,” paparnya. Berata sendiri menjanjikan membawa kasus ini layaknya kasus Munir. Sampai kapanpun dia akan kejar sampai kewajiban BPG terlunasi.”Saya sudah titip pesan ke keluarga, kalau ada apa-apa nanti yang menimpa saya. Cari siapa pelakunya disini, disini dan disini,”pungkasnya memberi ilustrasi.(*)

Kasus BPG

Menelusuri Aset Keluarga Cendana yang Bermasalah Dengan Rakyat Kecil (2)

Nekat Tidur di Pantai, Tuding Gubernur Kurang Berani Ambil Sikap
Sikap represif aparat keamanan masih membekas di sebagian besar warga Banjar Cengiling. Tidak hanya intimidasi fisik yang mereka ingat tapi juga intimidasi non fisik. Tak heran, dendam masih sulit mereka hilangkan

WAJAH Gde Berata dan Made Koplan kemarin (30/1) terlihat tegang saat diminta menuturkan intimidasi yang dilakukan aparat keamanan. Karena bagaimanapun aksi yang dilakukan aparat, tidak bisa dibenarkan. Baik dari sisi kemanusian maupun yuridis.”Saat aksi pengusuran berlangsung, saya sampai tidak berani tidur didalam rumah,”ujar Made Koplan. Lantas ? Dengan keluarganya, tiap malam dirinya harus pindah tidur. Ironisnya, bukan rumah dengan dinding tembok atau minimal pondok bambu, tempat dirinya menghangatkan tubuh. Dia terpaksa menyepi, pindah ke pantai Balangan. Tempat yang selama ini, bebas dari intaian aparat keamanan.”Tiap malam saya tidur di Pantai dengan keluarga saya,”urainya. Namun sekuat-kuatnya tubuh menahan dingin saat malam larut, jebol juga. Tidak tahan, dia dan keluarganya akhirnya memilih mengungsi ke rumah saudaranya di Desa Jimbaran, 10 kilo dari tempat tinggalnya saat ini. Koplan mengaku terpaksa menolak ganti rugi lantaran kompensasi yang diberikan kelewat kecil. Dengan luas tanah yang dia punya sekitar 1 ha, plus bangunan dan kebun. Ganti rugi yang diberikan pihak BPG, sama sekali tidak sebanding. Malah boleh dikatakan, dia belum pernah menerima ganti rugi. Kok ? “Saya memang telah diberi uang Rp 30 juta plus uang pindah rumah Rp 5 juta atas kompensasi tanah saya seluas 1 ha. Tapi itu bukan uang penganti melainkan hanya uang hadiah seperti yang diakui pihak BPG,”jelasnya. Kenapa warga menolak ? Gde Berata bilang banyak alasan. Salah satunya diingkarinya perjanjian antara warga dengan BPG. Pertama pihak BPG menjanjikan nilai ganti rugi dengan perbandingan 1 ; 1.5. Artinya, bagi petani penggarap yang punya lahan 1 ha, maka BPG akan menganti seluas 1,5 ha. Itupun janjinya diganti dengan tanah produktif seperti di Tabanan, misalnya. Tapi sayangnya, kesepakatan tersebut diingkari BPG. Pasalnya setelah dicek, tanah penganti yang diberikan, rencananya tidak diperuntukkan untuk petani penggarap melainkan ke Kades yang tersebar di lima kabupaten di Bali minus Badung. Akhirnya warga kembali memaksa mengelar pertemuan lanjutan di Sambi Kembar, SD Pandem dan rumah Pekak Lipir. Kesepakatan akhir, nilai perbandingan ganti rugi adalah 1 ; 1 seperti yang tertuang dalam surat direksi BPG No 085/K/BPG/VI/1996 dengan tanda tangan langsung kuasa hukum BPG Nyoman Sukandia SH. Warga juga tidak sepakat ditempatkan di BTN Bayuh menempati areal tanah seluas 2 are dan rumah tipe 36.”Secara geogragis, BTN Bayuh bukan wilayah desa kami. Apalagi disini kita sudah punya banjar dan pemukiman penduduk,”paparnya. Penolakan itu sejatinya telah direspon pihak BPG. Terbukti kompensasi tanah 5 are plus uang penganti Rp 30 juta telah diberikan per 8 Juni 1996 lalu sesuai SK 08/KD/IV/1996. Tapi persoalannya, sertifikat tanah penganti hingga kini tak kunjung beres. Padahal kejadiannya berlangsung sejak 13 tahun lalu. Artinya, menurut dia, BPG telah melakukan wanprestasi. Merujuk surat Gubernur No 593/15438/perl dan No 011/BPG-Dirut/SPK/X/1995, pasal 3 ayat 1 maka seharusnya Gubernur berhak membatalkan perjanjian tukar menukar apabila pihak BPG menurut pertimbangan Gubernru tidak mampu lagi menyelesaikan kewajibannya.”Surat perjanjian itu sangat jelas bahwa BPG tidak mampu menyelesaikan kewajibannya. Termasuk mempekerjakan warga Cengiling dan memberikan ganti rugi atas tanah yang dikuasai,”jelasnya. Seharusnya, menurut dia, Gubernur berani menarik ijin BPG. Persoalannya apakah Gubernur Dewa Made Beratha cukup berani mencabut ijin BPG yang dituding melakukan wanprestasi ? “Saya yakin Gubernur tidak berani,”pungkasnya.(*)

Kasus BPG

Menilik Kasus Pecatu ; Peninggalan Kroni Almarhum Suharto di Bali (1)

Bangun Resort 950 Ha, Usir Ratusan Petani Penggarap
Nasib ratusan petani penggarap tanah negara di Desa Pecatu semasa rezim Suharto berkuasa, bak lakon dalam drama sinetron. Mereka diinjak dan diteror bak musuh, hanya demi memuluskan ambisi putra mahkota Hutomo Mandala Putra, membangun resort senilai Rp 13 triliun.

SEJAK Hutomo Mandala Putra meluncurkan megaproyek Pecatu Indah Resort yang konon bernilai Rp 13 triliun lebih, diatas lahan seluas 650 hektar – diperluas menjadi 950 hektar – sekitar tahun 1995. Banyak sekali warga petani Desa Pecatu, yang menerima getahnya. Maklum, dari sekian ratus hektar tanah yang dibebaskan, tersangkut tanah negara seluas 123 hektar lebih. Dan sudah digarap oleh ratusan kepala keluarga secara turun temurun. Merujuk peraturan perundang-undangan seperti yang dilontarkan dalam buku pledoi Kasus Pecatu terbitan Bali Corupption Watch (BCW) Bali. Mereka lah seharusnya yang berhak untuk menjadi pemilik tanah tersebut. Tetapi, yang datang dan menghendaki tanah tersebut adalah pengusaha yang notabene anak orang kuat di Indonesia. Tak heran, yang terjadi akhirnya justru konflik. Pasalnya tanpa pengawasan yang jelas, tiba-tiba tanah negara yang digarap para petani Pecatu itu – total luasnya sekitar 123,15 hektar – sudah berpindah tangan ke PT BPG. Terbukti dengan diterbitkannya sertifikat HGB tanpa batas waktu No. 53/Desa Pecatu. Gubernur Bali saat itu Ida Bagus Oka, rupanya sudah memberikan tanah itu kepada PT BPG. Sebagai gantinya, Pemda mendapat tanah penukar seluas 150 persen yang tersebar di kabupaten Jembrana, Tabanan, Klungkung dan Karangasem. Timbul pertanyaan, petani penggarap mau dikemanakan dan apakah yang mereka peroleh? Pihak PT BPG dengan congkak mengatakan, bahwa karena belas kasihan, masing-masing petani penggarap itu diberi hadiah uang sebesar Rp 5 juta dan rumah tipe 36 diatas tanah seluas 200 meter persegi. ”Akhirnya ratusan petani penggarap warga Desa Pecatu mendatangi kantor kami di Denpasar. Mereka minta dibela dalam kasus sengketa tanah dengan PT Bali Pecatu Graha (BPG),”ujar Putu Wirata Dwikora, Koordinator BCW dalam pengantar buku pledoi Kasus Pecatu yang diterbitkan 20 Desember 2000 lalu. Yang menarik tidak seluruh petani penggarap dibela. Setelah melewati saringan yang ketat, hanya 29 orang petani yang diterima menjadi kliennya. Menurut Putu Dwikora, yang terpilih menjadi kliennya saat itu adalah petani-petani yang dianggap konsisten membela hak-haknya, berani, dan jujur. Keberanian, kejujuran dan konsistensi menjadi persyaratan mutlak buat pembelaan mereka, karena lawan mereka bukanlah orang sembarangan.”Di belakang PT BPG, siapapun tahu, ada tangan kekuasaan yang amat kuat. Dengan kekuasaan yang hampir-hampir absolut pada waktu itu, bisa dengan semaunya menggerakkan alat-alat negara secara manipulatif menjadi alat kekuasaan,”ucapnya. Bila pada awal perjuangan sudah ada gelagat penakut atau ragu-ragu, tim pembela yang dikoordinatori Wayan Sudirta SH tidak akan mau membela mereka.”Bukannya tidak peduli nasib mereka. Sebab di tengah jalan, bila kekuasaan telah memperalat berbagai kekuatan negara itu untuk menjadi pemukul, petani akan blingsatan dan mereka akan dipaksa untuk mencabut kuasanya dari para pembela,”jelasnya. Pasalnya, bila sampai ada petani penggarap yang tiba-tiba mencabut surat kuasanya, tentu para pengacara tidak punya legitimasi apapun untuk melakukan pembelaan. Yang menarik saat itu, Setelah terpilih jadi klien. 29 orang petani penggarap ini kemudian di boyong ke Pura Petitenget, Kuta, untuk bersumpah setia. Bersumpah tidak berkhianat, dan bila ada yang berkhianat, mereka mengucapkan sumpah siap untuk menerima kutukan bencana sepanjang tujuh turunan. Yang ironis, manakala Sudirta masuk DPO Polda Bali. Petani Pecatu yang tak tahan siksaan dan godaan, mrotol di tengah jalan. Mereka tergoda oleh iming-iming uang dan tega meninggalkan para pembelanya. Apa yang sudah diperhitungkan akhirnya terjadi. “Bila tekanan dan godaan sangat keras, menurut pengalaman saya, 90 persen lebih klien akan menyerah. Bahkan, ada juga yang tega berkhianat,”kata Sudirta dalam pledoi kasus Pecatu. Kendatipun, menurutnya, berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yang paling berhak untuk mendapat sertifikat atas tanah negara seluas 123,15 hektar adalah petani penggarap. Kok ?”Jika pemerintah memerlukan tanah negara itu untuk kepentingan umum – bukan kepentingan pengusaha – haruslah dilakukan pembebasan, yang disertai pemberian ganti rugi kepada petani penggarap, yang kesemuanya diatur dengan undang-undang,”tukasnya. Tapi yang terjadi dalam kasus ini, pengambilalihan tanah-tanah negara bukanlah untuk kepentingan umum, tapi untuk kepentingan usaha keluarga Cendana.”Pertanyannya, apakah Soeharto dan keluarganya merasa menjadi representasi kepentingan negara? Apakah mereka merasa, bahwa dirinya adalah hukum, seperti raja Louis di Prancis yang dengan congkak berkata, kata-kataku adalah hukum,” pungkasnya.(*)

sedemikian hancurkah lingkunganku

Tanggal 13 juli 2008 pukul 22.35

Sedemikian Hancurkah Lingkunganku

Dari kemarin malam pikiranku melayang-layang memikirkan betapa hancurnya alam yang aku tempati saat ini. Nining, dari reef check saat pemaparan di salah satu event coca cola sempat bilang, 85 persen terumbu karang yang ada di Indonesia hancur. Kondisi serupa terjadi di Bali. Padahal kata dia, terumbu karang mempunyai banyak manfaat bagi kehidupan biota laut. Tidak hanya sebagai pentralisir gas karbon, terumbu karang juga merupakan tempat bagi biota laut untuk berkembang biak. Tetapi fakta yang terjadi, terumbu karang hancur total.

Aku sendiri pernah melihat dan merasakan hancurnya terumbu karang di Bali. Pertama saat bertugas di Karangasem. Kebetulan hampir satu setengah tahun aku pernah di tugasin di bumi tanah aron, sebutan lain kabupaten yang terletak di bagian timur Bali ini. Di situ tepatnya di desa Ulakan, Manggis, ada satu tempat diving terkenal di Bali yang menyediakan fasilitas kapal selam yang dikelola bule ausie. Sebagian besar pegawainya sih dari jawa. Sempat ada yang aku kenal, ngakunya dari malang.

Dilihat dari permukaan, sebenarnya perairan di kawasan itu tidak ada masalah. Lalu lintas pelayaran berjalan normal. Malah sebelum itu di kawasan itu sempat geger setelah ada sinyalemen menjadi tempat transit sekelompok teroris yang meledakkan bom bali 2 tahun 2005 lalu. Tapi biarlah, lupakan itu. Yang jelas, secara kasat mata, keindahan tempat ini tidak pernah kulupa. Satu kawasan yang membentuk teluk dengan hamparan laut luas membiru. Di sampingnya berdiri depo pertamina manggis yang menjadi rebutan dua desa yang sama-sama mengklaim sebagai pemilik sah depo. Padahal, siapa yang bisa mengklaim pertamina. Pertamina adalah milik negara, milik semua rakyat Indonesia, tidak seorang pun yang boleh memilikinya secara pribadi apalagi kelompok-kelompok.

Nah, kembali ke awal, di Desa Ulakan inilah ada tempat menyelam favorit yang pernah aku lihat. Menggunakan kapal selama warna putih, aku pun menuruni tangga demi tangga kapal selam. Tak lupa aku meninggalkan seluruh identitas. Kata instruktur, antisipasi jika terjadi apa-apa di dalam air.”Biar keluarga tahu kalau terjadi apa-apa, “sahut instruktur diver dari malang itu. Kapal selam ini sebenarnya tidak gede amat seperti kapal selam perang. Cuma berkapasitas 25 orang. kapal selam buatan amrik ini biasanya di gunakan para bule minimal orang local berkantong tebal menikmati alam bawah laut. Maklum, harga tiketnya memakai standar dollar. Bagi orang local, satu jam di kenakan tariff Rp 500 ribu, untuk bule tentu lain tarifnya. Kebetulan pemkab Karangasem yang kebetulan mengajak bupati baru saat itu Wayan Geredeg meninjau lokasi, aku pun menuju ke tempat itu. Semenit dua menit, kapal inipun turun menuju ke permukaan. Pergerakannya amat pelan sehingga bisa di lihat dari panel penunjuk. Tak perlu binggung, karena di dalam kapal ada banyak petunjuk panel, termasuk jenis ikan yang ada diperairan desa Ulakan.

Semeter dua meter tidak ada keindahan yang terlihat, kecuali sampah yang betebaran di atas permukaan. Baru ketika menuju kedalam 20 meter, kemudian 25 meter hingga 40 meter, betebaran ikan-ikan menakjubkan. Sesekali ikan itu disemprot cairan yang kata instruktur semacam pupuk. Namun bukan itu yang sebenarnya menjadi persoalan. Aku benar-benar penasaran, marah dan jengkel, ketika pengelola hanya menjual ikan tetapi tidak dengan terumbu karang. Aku lihat terumbu karang di tempat itu benar-benar hancur. Memang ada yang lagi tumbuh setelah mendapat treatment dari pengelola. Tetapi yang aku lihat banyak yang hancur.

Karena penasaran, aku pun Tanya ke salah seorang instruktur, mengapa kehancuran terumbu karang di tempat itu begitu nyata. Tanpa ada yang dia sembunyikan, dia pun cerita kalau fakta hancurnya terumbu karang sebenarnya tidak hanya terjadi perairan Desa Ulakan, tetapi juga nyaris terjadi di seluruh Bali. Itu semua, kata dia, karena illegal fishing berlebihan. Baik dengan penggunaan potas maupun bom ikan, sesuatu yang sebenarnya menjadi barang illegal, tetapi sulit untuk menghentikannya.

Untuk menguatkan fakta hancurnya biota laut di Bali, akupun menemui Sahim, lelaki asal Maladewa yang kebetulan puluhan tahun tinggal di Sanur dan mendirikan bisnis diving. Malah saking cintanya ke Bali, dia tidak hanya ingin berlama-lama tinggal di Bali, tetapi dia juga menyempatkan diri kuliah hukum di Bali. Dia juga menelusuri perairan keliling Bali hampir 45 hari sepanjang 450 km tahun 2007 lalu, mulai dari perairan Sanur, menuju ke Ketewel, Lebih, Klungkung, Goa Lawah, Manggis, Candidasa, Amed, Singaraja, Jembrana, Tabanan, Kuta, Jimbaran, Nusa Dua dan kembali ke Sanur di temani anak sulungnya. Sebuah capain prestasi yang hingga kini belum pernah di ukir warga Indonesia satupun. Disitulah dia bercerita, hanya sebagian kecil perairan di Bali yang benar-benar bersih. Sepanjang perjalanan yang dia lalui, tidak hanya sampah organic yang dia temukan tetapi juga an organic. Paling parah dia temukan di Sanur, Kuta, Tibubenang, Gilimanuk dan Celukan Bawang. Hanya sebagian kecil yang benar-benar asri, tidak hanya habitat karang yang ada didalamnya. Tetapi juga ikannya. Kawasan itu dia sebut ada di Nusa Dua dan sebagian Goa Lawah, di Klungkung. Fakta itu pula yang diungkap Nining, dari Reef Check Bali, saat memaparkan tingkat keparahan habitat terumbu karang di Bali. Padahal perairan Bali termasuk salah satu kawasan yang masuk sabuk peredaran ikan paling variatif di seluruh dunia. Di bumi Indonesia inilah, seluruh habitat ikan ada di dalamnya. Tetapi yang menjadi pertanyaan, sedemikian hancur tanah airku, mengapa peran untuk mengurangi dampak bahaya sampah organic dan an organic, demikian kecil. Produksi plastic masih terus di genjot. Padahal plastic, alumunium hingga steroform apalagi kaca, daya hancurnya jutaan tahun. Lantas kalau kondisi ini dibiarkan, bagaimana generasi kita akan datang ? Dimana kau pejabat tukang korups.