Menelesuri Aset Keluarga Cendana yang Bermasalah dengan Rakyat Kecil (5)
215 Merajan Digusur, 223 Pejabat Terima Tanah Kavling 17,5 Ha
Upaya pembebasan lahan warga Banjar Cengiling tidak hanya terindikasi melanggar hak asasi manusia (HAM), melawan hukum dan aturan birokasi, tapi juga moral. Seperti apa ?
INDIKASI Terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terlihat jelas dalam perkara Bali Pecatu Graga (BPG). Dengan dalih pembangunan, warga digusur, tanahnya dibuldoser tanpa ada perlawanan berarti. Malah ada yang disiksa demi memuluskan ambisi Pangeran Cendana membangun resort diareal lahan seluas 950 ha di kawasan Pecatu. Ironisnya, masih banyak yang belum mendapatkan ganti rugi seperti perjanjian yang ditandagani Gubernur Ida Bagus Oka dengan PT BPG, hingga saat ini. Toh jika sudah ada yang mendapatkan ganti rugi material, sertifikat tanah penganti yang dijanjikan sejak 13 tahun lalu, tak kunjung beres. Salah satunya yang dialami Made Dana, pemilik persil 93 c yang tanahnya diakui BPG telah masuk dalam sertifikat HGB 53/Desa Pecatu.”Yang unik kendati telah mengakuisisi tanah Made Dana, pihak BPG tidak tahu persis apakah tanah seluas 2 ha milik Dana, masuk dalam sertifikat HGB. Kebingungan itu diakui Nyoman Sukandia, kuasa hukum BPG saat persidangan di PN Denpasar,”urai Putu Wirata Dwikora, Koordinator BCW Bali dalam buku pledoi kasus BPG. Kenapa bisa demikian ? Tidak jelas. Informasinya, sertifikat tersebut dibuat tergesa-gesa, semata-mata hanya proforma diatas kertas. Sehingga ketika dicocokkan dengan kenyataan di lapangan, menciptakan kebingungan yang luar biasa. Justru sertifikat itulah yang dijadikan dasar untuk menyeret Made Dana dan Wayan Rebho ke balik jeruji besi. Kok bisa ? Pasalnya, dengan alasan melindungi tanahnya dari gusuran buldoser pihak BPG, Made Dana minta bantuan kawan-kawannya untuk memagar tanah garapannya, salah satunya adalah Wayan Rebho. Tapi upaya warga berakhir penahanan terhadap keduanya setelah kuasa hukum BPG Nyoman Sukandia mengadukannya ke Polda. Pengaduan Sukandia sendiri agak konyol. Semula polisi menggunakan tuduhan “penyerobotan”tanah sebagai dasar tuduhan. Kemudian setelah berkas tiba di kejaksaan, tuduhan diganti dengan melakukan perbuatan yang menyebabkan perasaan tidak senang, seperti diatur dalam pasal 335 pasal 1 ayat 1 KUHP. Itu baru contoh pelanggaran hukum. Sementara pelanggaran birokrasi paling kentara ketika Gubernur Ida Bagus Oka menandatangani perjanjian tukar gulir dengan BPG. BPG boleh mendapatkan tanah negara tersebut dengan menukarnya dengan tanah sawah yang luasnya 1,5 kali lipat (diganti 1 kali lipat), terletak di beberapa kabupaten di Bali. Tanah pengganti ini akan dijadikan kas desa, terminologi yang belum jelas maksudnya. Perjanjian ini mendapat persetujuan DPRD Bali, lewat ketua Komisi A yang diketuai Ida Bagus Putu Wesnawa, saat itu. Dalam butir perjanjian itu terdapat sejumlah ketentuan, antara lain bahwa PT BPG baru boleh beroperasi setelah tanah pengganti diberikan dan bila sampai enam bulan sejak perjanjian disepakati ketentuan belum dilaksanakan, perjanjian itu batal. Namun, perjanjian itu rupanya cuma diatas kertas. Sebelum jelas dimana letak tanah penggantinya, bagaimana nasib para petani penggarap tanah negara tersebut, BPG sudah berhasil mengantongi belasan sertifikat termasuk sertifikat HGB No. 53/Desa Pecatu tersebut. Gubernur tak berkutik dan DPRD Bali tidak mengontrol. Dan ternyata pula, bahwa sertifikat HGB No. 53/Desa Pecatu tersebut mengandung sejumlah cacat. Diantara cacat-cacat yang penting itu adalah, luas tanah di sertifikat melebihi luas tanah asal, yang menunjuk batas-batas tanah adalah BPG (seharusnya perorangan, bukan badan hukum), sertifikat diterbitkan pada hari yang sama dengan tanggal permohonan diajukan oleh BPG (sesuatu yang mustahil kalau bukan karena kesewenang-wenangan kekuasaan), tidak ada peta situasi di lapangan dan tidak ada masa berlaku HGB.”Diluar cacat birokrasi itu, serangkaian prosedur dan peraturan perundang-undangan dilanggar tanpa ampun oleh berbagai pihak yang berkaitan dengan penerbitan sertifikat tersebut,” katanya. Apa yang oleh Pemprov Bali diklaim sebagai tanah dana bukti, ternyata cuma terminologi untuk berdalih buat mengambil tanah negara dengan cara yang mudah. Padahal sesuai ketentuan perundang-undangan, tidak dikenal nama tanah dana bukti¸ dan karenanya tanah garapan petani di Desa Pecatu itu sebetulnya tanah negara. Apalagi, tanah yang disebut tanah dana bukti itu ternyata tidak terdaftar dalam catatan dokumentasi dan inventarisasi Pemprov Bali. Ironisnya, belum tuntas kasus tersebut, tiba-tiba muncul ke permukaan adanya 223 pejabat dan anggota DPRD yang mendapat kavling tanah di Pecatu. Total luasnya 17,5 hektar pada tahun 1995/1996. Termasuk diantaranya adalah pejabat penting di lingkup Pemkab Badung, Pemprov Bali dan sejumlah jenderal yang tinggal diluar Bali. Paling fatal adalah pelanggaran moral. Catatan Gde Berata, koordinator petani korban BPG, selama proses pengusuran berlangsung antara 1995 hingga 1996 lalu, 215 merajan warga banjar Cengiling, hilang digusur tanpa diupacarai terlebih dulu.”Kita tidak bisa melawan karena dihalangi aparat,”lontarnya. Anehnya, kata dia, tidak ada sikap dari pemerintah maupun PHDI, selaku lembaga umat. Padahal perusakan merajan telah dilaporkan.”Terus terang kita sedih, kok tidak ada yang terketuk hatinya melihat perusakan merajan ini. PHDI juga diam,”tohoknya. Dengan banyaknya pelanggaran yang dilakukan BPG, sepatutnya pemerintah bersikap. Menurutnya, Gubernur harus berani mengambil sikap menyetop sementara waktu pembangunan di areal BPG sampai seluruh proses ganti rugi clear. Atau perjanjian dibatalkan sesuai ketentuan pasal 3 ayat 1 perjanjian tukar guling antara Pemprov dan BPG nomer No 593/15438/perl dan nomer 011/BPG-Dirut/SPK/X/1995. Kalau toh dipaksakan, korban menuntut ganti rugi Rp 164 miliar seperti yang dituntut semula, segera dibayar. Uang sebanyak itu, menurut Berata, sebagai kompensasi atas tanah, bangunan, pekarangan dan hasil kebun milik sebagian korban yang belum mendapat ganti rugi.”Tuntutan itu sudah kita layangkan ke Mas Tommy 27 September 2007 lalu. Tapi belum ada jawaban mengenai ganti ruginya,”pungkasnya. (*)