Gayus Itu Laksana Hama Penyakit

GAYUS HP Tambunan memang fenomenal. Mantan pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan ini mampu membius khalayak publik negeri ini dengan tindakan negatifnya. Tak hanya menimbun kekayaan dari para pengemplang wajib pajak (WP) yang ditaksir mencapai Rp 100 miliar lebih, tapi juga piawai mengkadali beberapa oknum institusi aparat penegak hukum untuk seenaknya keluar dari jeruji balik besi, tempatnya mendekam saat ini. Sempurna ! Tak ada warga negeri ini yang mampu dan sehebat Gayus menjalankan skenario sempurna ini. Apalagi, untuk level pegawai negeri sipil yang baru menduduki golongan III A.

Tentu butuh keberanian melakukan itu semua. Praktik nakal yang seharusnya dihindari seorang abdi Negara yang digaji dari uang rakyat. Dan, Gayus adalah aktornya. Jebolan STAN ini piawai mengatur kasus para pengemplang wajib pajak. Termasuk mengakali besaran denda agar tidak sebesar yang seharusnya mereka bayar. Gayus sendiri telah mengakui perbuatan busuknya ini didepan majelis hakim PN Jakarta Selatan. Setidaknya, menurut pengakuan Gayus, ada tiga anak perusahaan Group Bakrie, yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Bumi Resource dan PT Arutmin, yang dia bantu saat mengurus pajaknya. Nilai sogokannya antara USD 500 ribu hingga USD 2 Juta.

Butuh Obat Pembasmi

Untuk bisa tumbuh dan hidup, manusia butuh makan. Agar sehat, maka makanan yang dikonsumsi manusia harus mengandung minimal empat sehat lima sempurna. Pun dengan hewan dan tumbuhan. Supaya pertumbuhannya berjalan maksimal, mahluk Tuhan ini membutuhkan asupan gizi. Namun, pertumbuhan manusia, hewan, dan tumbuhan tidak akan berjalan normal manakala ada gangguan. Entah itu dalam bentuk hama tanaman, maupun penyakit. Kedua-duanya mempunyai sifat perusak pertumbuhan. Itu wajar karena kedua “begundal” ini tak hanya menyerang system kekebalan tubuh (imun), tapi juga merusak fungsi alat tubuh.

Nah, kiasan itu juga sedikit mengambarkan sosok Gayus HP Tambunan. Ibaratnya, kita hidup dalam kehidupan berbangsa. Maka Gayus adalah hama dan penyakitnya. Gayus adalah perampok dan pengisap system kekebalan tubuh bangsa ini. Jika perusak system kekebalan tubuh ini dibiarkan hidup dalam organ tubuh, maka lambat laun tubuh juga tidak akan mampu melawan. Satu-satunya cara adalah dengan mengobati. Misalnya, jika kita sakit panas dingin, maka dibutuhkan paracetamol, sebagai obatnya. Pun, dengan kasus Gayus ini. Karena apa yang dilakukan Gayus mengindikasikan kita sebagai bangsa dalam hidup tidak normal lantaran sakit.

Pertanyaannya, apakah obatnya ? Pertama, hemat penulis adalah memerkarakan kasusnya. Mulai dalam keterlibatannya dalam kasus mafia pajak hingga yang terbaru, kasus penyuapan terhadap mantan Karutan Mako Brimob Kompol Iwan S. Dalam kasus mafia pajak, penegak hokum harus berani membongkar WP siapa saja yang terlibat kongkalikong dengan Gayus. Pasalnya, hingga saat ini polisi hanya berani menyidik satu WP yakni PT SAT. Padahal, masih ada 43 WP pajak yang terindikasi terlibat mafia pajak, termasuk tiga perusahaan milik Bakrie Group. Gayus juga terang-terangan mengakui menerima duit dari para WP ini.

Tidak kalah penting adalah mengusut uang Rp 75 miliar milik Gayus yang disita kepolisian. Siapa sebenarnya pemilik uang dalam rekening itu. Polisi seharusnya terbuka dan transparan dalam mengusut kasus ini. Pasalnya, selama ini polisi hanya berkutat mengurus penyuapan PT SAT ke Gayus saja. Sementara pokok masalah seperti dibiarkan kabur. Kalau ini dibiarkan, maka obat yang dicari untuk menyembuhkan penyakit tubuh bangsa ini juga akan sia-sia karena tak akan sembuh. Bahkan, bisa kembali kambuh sewaktu-waktu. Sejatinya, kepolisian sendiri memiliki obat yang mujarab. Mereka memiliki penyidik dan piranti super canggih untuk membongkar kasus ini segamblang-gamblangnya.

Entah apa masalahnya hingga obat mujarab itu tak kunjung digunakan untuk menyembuhkan penyakit yang diderita bangsa ini. Tentu polisi harus menjawab semua ini. Jangan biarkan kasus ini menguap seperti kasus rekening gendut para jenderal itu. Obat kedua adalah memiskinkan Gayus sebagaimana yang dilontarkan Ketua MK Mahfud MD. Wacana yang dikemukan Mantan Menteri Pertahanan era Presiden Abdurahman Wahid yang dikenal dengan integritasnya ini adalah ide yang menarik dan patut dipertimbangkan aparat penegak hokum negeri ini. Terutama untuk para tikus-tikus yang merusak sendi-sendi perekonomian negeri ini. Tidak ada jalan lain.

Selain menjatuhkan hukuman fisik, seluruh aset Gayus yang diduga diperoleh dari dana tak halal, harus disita dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Bayangkan saja, uang Rp 100 miliar yang seharusnya masuk ke kas Negara, dia tilep bersama kroninya. Bisa saja itu jumlah yang diketahui publik. Bagaimana dengan dana haram lainnya yang berhasil dia kumpulkan. Bisa jadi lebih besar. Karena itu hukuman yang pantas untuk dia adalah menyita semua harta bendanya. Tanpa tersisa. Ini adalah hukuman yang adil. Apalagi, sudah banyak jiwa yang menderita karena ulahnya. Tidak ada istilah empati dan tenggang rasa bagi penjahat kemanusian seperti Gayus Tambunan ini.

Obat ketiga adalah mendesak Gayus untuk terus terang dan mengungkap apa saja yang sebenarnya terjadi dalam kasus mafia pajak ini. Siapa saja yang terlibat, berapa nilai sogokan, pemicu merebaknya mafia pajak, dan sebagainnya. Obat terakhir adalah dengan mematikannya. Gayus itu seperti virus atau minimal bakteri yang mampu menyebar ke seluruh tubuh. Dan, Gayus ini adalah bagian terkecil dari system dalam tubuh bangsa ini yang rusak. Artinya, jika semua obat yang digunakan untuk menyembuhkan penyakit itu tak lagi mempan, maka jalan terakhir adalah mematikannya. Lihatlah negeri Tiongkok.

Dulu, Tiongkok adalah Negara koruptor. Namun, adanya kemauan kuat dari pemimpin negerinya untuk memperbaiki diri, Negara tirai bambu ini dikenal sebagai negeri yang bersih dari tindak korupsi. Meski ada, jumlahnya bisa diminimalisir. Ini tidak lepas dari ketegasan pemerintah negeri itu yang akan menghukum mati warganya – terutama pejabat – yang terindikasi kuat melakukan korupsi. Semoga saja langkah Tiongkok segera menginspirasi para penegak hokum negeri ini. Tanpa hukuman yang mampu memberi efek jera, korupsi masih akan tumbuh subur di negeri ini. Toh, Gayus telah bersuara. Tinggal penegak hokum mengungkapnya segamblang-gamblangnya. Semoga !

 

Bongkar Perampokan PT Sampoerna

LAGI-lagi kasus perampokan menggegerkan Kota Denpasar. Kali ini yang menjadi sasaran adalah PT Sampoerna yang terletak di Jalan By Pass Ngurah Rai, Suwung, Denpasar Selatan. Memanfaatkan kelengahan dua orang security yang menjaga tempat tersebut, para pelaku membobol kantor perwakilan perusahaan rokok ternama di negeri ini Minggu (28/3) lalu sekitar pukul 03.30. Dalam aksinya, pelaku yang belum diketahui jumlahnya itu membawa kabur brankas yang didalamnya berisi uang sebesar Rp 565 juta plus surat berharga. Dilihat modusnya, para perampok tampaknya telah merencakan aksinya dengan matang. Mereka diyakni sudah paham dengan daerah yang bakal mereka satroni. Buktinya, kedua security, Ketut Agus Karya Utama, 20, dan Didik Suprapto, 26, begitu mudah dilumpuhkan. Bahkan, pelaku begitu mudah mengacak-acak seisi kantor dan mengambil tempat penyimpanan uang perusahaan. Yang aneh dan menjadi pertanyaan, mengapa kantor sebegitu besar dan terletak di pinggir jalan besar dibiarkan tak terkunci ?. Adakah, orang dalam yang mungkin terlibat ? Sejauh ini, Kapolsek Denpasar Selatan AKP Gede Ganefo tak mau berspekulasi terlalu jauh. Menurutnya, polisi masih mencari segala kemungkinan untuk mengungkap kasus tersebut. Kecurigaan terlibatnya orang dalam memang harus ditelusuri polisi. Bagaimana mungkin pelaku begitu mudah melakukan pembobolan, termasuk melumpuhkan dua orang security tanpa ada perlawanan berarti. Belum lagi mudahnya pelaku mendapatkan brankas tempat penyimpanan uang. Padahal, brankas itu diletakkan ditempat yang rahasia dan kode pintunya hanya diketahui pimpinan. Polisi juga patut mencurigai tak ditemukannya sidik jari para pelaku. Padahal biasanya, setiap aksi kejahatan pasti meninggalkan jejak. Sidik jari misalnya. Artinya, dengan tidak ditemukannya sidik jari, pelaku telah mempersiapkan aksinya dengan matang. Kecurigaan ini mungkin bisa dihubungkan dengan status security yang bekerja di PT Sampoerna. Dari hasil penyelidikan polisi, para security yang bekerja di tempat itu ternyata diambilkan dari pihak ketiga (outsourching). Informasinya, beberapa waktu lalu, sebelum memakai tenaga outsourching yang sekarang, mereka memakai tenaga yang lain. Entah, ada persoalan apa sehingga mereka tak lagi dipakai oleh PT Sampoerna. Diduga karena mangkel, para security ini kemudian membobol PT Sampoerna. Bukankah, modus seperti ini kerap dilakukan para pelaku tindak kejahatan ? Meski demikian, untuk membuktikannya, polisi harus melakukan penyelidikan lebih intensif dengan mencari modus lain yang dilakukan pelaku. Semisal, mencari saksi lain diluar saksi Ketut Agus, dan Didik Suprapto. Pasalnya, keduanya sepertinya tak mampu lagi diharapkan untuk menguak kasus ini. Itu bila dilihat dari kesaksian mereka yang terkesan plin-plan dan berbelit-belit. Caranya ? Mungkin mengandalkan teknologi CCTV (circuit close television). Namun sayangnya, PT Sampoerna tak dilengkapi alat canggih ini. Lantas ? Yang jelas, ini adalah pekerjaan rumah polisi. Jangan biarkan kasus perampokan dibiarkan ngambang. Karena fakta membuktikan, dari sekian kasus perampokan yang terjadi di Bali, nyaris hanya sedikit yang berhasil ditemukan pelakunya. Selebihnya, kabur dan tak jelas. Kondisi inilah yang kemungkinan membuat pelaku perampokan kembali berani melakukan aksinya. Siapa tahu ? (*)

Ribetnya Menjaga Obama

Ribetnya Menjaga Obama
JIKA tak ada aral melintang, pertengahan Maret ini Presiden Amerika Serikat Barrack Husein Obama mengadakan lawatan ke Indonesia. Barry Kecil, demikian panggilan akrab Obama semasa masih tinggal di Jakarta tahun 1960-an lalu itu, akan datang atas undangan Presiden SBY. Ini adalah kunjungan pertama Barrack Obama sejak dilantik menjadi presiden adidaya ke 44 ke Indonesia.
Untuk memuluskan kunjungannya ke Indonesia, staf kepresidenan AS sejak awal Februari lalu telah melakukan survey ke beberapa tempat yang bakal dikunjungi presiden pertama AS dari ras negroid ini. Rencana awal, selain mengunjungi SDN Menteng 01 Jakarta Pusat, Obama diagendakan mengunjungi Candi Borobudur Magelang, Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Bengkel Lokomotif Kereta Api BalaiYasaYogyakarta.
Namun, rencana Presiden Obama mengadakan lawatan ke Yogyakarta mendadak batal. Sebagai gantinya, Obama mengunjungi Bali. Bagi Bali, ini adalah berkah tersendiri. Untuk kesekian kali, Bali menjadi jujugan pemimpin dunia. Sebelumnya, mantan Presiden AS George W Bush pada 22 Oktober 2003 lalu juga pernah mengunjungi Bali. Belum lagi, pemimpin belahan dunia lain yang memilih Bali sebagai tempat berlibur dan beraktivitas.
Disatu sisi, sebagai krama Bali, kita tentu bangga pulau dewata dipilih sebagai tempat jujugan para pemimpin dunia. Bisa dijamin, jika Bali sukses menjadi tuan rumah bagi Presiden Obama, efek dominonya bagi dunia pariwisata sangat luar biasa. Meski tidak langsung, secara berlahan, investor akan berbondong-bondong menanamkan investasinya di Bali. Perekonomian pun akhirnya bergerak secara simultan.
Tapi, kita juga patut mengelus dada melihat ribetnya penjagaan mereka sehingga menafikan kenyamanan krama Bali yang sedang beraktivitas. Betapa tidak, untuk menyambut Obama, penerbangan regular di Bandara Ngurah Rai setengah jam sebelum mendarat (landing) dan setengah jam sesudah terbang (take off) akan dihentikan. Selain itu, seluruh akses ke Bandara Ngurah Rai, baik dari arah Kuta maupun Nusa Dua bakal ditutup.
Para penumpang pesawat juga dipaksa berjalan kaki dari pertigaan patung Ngurah Rai (di ruas jalan Bypass menuju Nusa Dua) menuju bandara. Praktis untuk beberapa jam, aktivitas perekonomian masyarakat bakal terhenti. Pengamanan Presiden Obama, juga bisa dibilang gila-gilaan. Total, 9000 aparat TNI/Polri dikerahkan Paspampres. Belum lagi tiga pesawat canggih F-16 dan helikopter yang standbay di Lanud Bandara Ngurah Rai.
Itupun belum cukup. Kemungkinan besar US Navy akan menyiagakan kapal induknya di perairan pulau Jawa, sebagai “safe house” dalam keadaan emergency. Kapal induk itu akan menyiagakan pesawat tempur, dan akan terus menerus memonitor gerakan Air Force One terhadap kemungkinan ancaman di udara selama berada di wilayah udara Indonesia. Ketatnya pengamanan ini bisa jadi karena Indonesia masih jadi sasaran utama kelompok teroris.
Bukti terbaru, kelompok teroris menjadikan Aceh sebagai base camp untuk menjadikan wilayah itu sebagai Mindanao kedua. Dari Aceh, direncanakan serangan untuk melumpuhkan Jakarta dan wilayah strategis di Indonesia. Menjadi tak heran, kalau kemudian pengamanan Presiden Obama saat bertandang ke Indonesia, sedemikian ketat. Meski demikian, tak seharusnya kedatangan orang nomer satu uncle sam ini justru membuat karma Bali menjadi tak nyaman dan aman.(*)

Ketika Pasien Miskin Jadi Sandera

SIAPAPUN Tidak ada yang menginginkan hidup menjadi orang miskin. Semua orang ingin hidup kaya dan sejahtera. Namun, kodrat hidup papa harus diterima pasangan suami istri Ketut Sunarta dan Ni Wayan Suardani. Pasangan muda asal Banjar Jelantik Koribatu, Tojan, Klungkung ini harus merelakan bayinya yang dilahirkan 10 hari lalu di sandera pihak RS Bintang. Alasannya, Ketut Sunarta belum melunasi biaya perawatan sebesar Rp 5 juta.
Bagi sebagian orang, nilai Rp 5 juta tidak ada artinya. Tapi, bagi Ketut Sunarta, nilai Rp 5 juta, sangat besar. Ketut Sunarta harus kerja banting tulang mengumpulkan uang sebanyak itu. Bahkan, uang yang telah dibayarkan tidak mampu menutupi semua biaya yang dibebankan rumah sakit. Merujuk kasus sebelumnya, penyanderaan bayi pasangan Ketut Sunarta – Ni Wayan Suardani bukanlah kasus pertama yang terjadi di Indonesia.
Dibeberapa kota besar, kasus serupa kerap terjadi. Salah satunya yang menimpa bayi Rodayana Siburian yang disandera RS Cipto Mangunkusumo akibat orang tuanya tidak mampu membayar biaya persalinan sebesar Rp 10 juta. Apapun namanya, menyandera pasien, apalagi seorang bayi adalah perbuatan melawan hukum. Pasal 33 UUD 1945 menegaskan, orang miskin dan anak terlantar di tanggung oleh negara. Bahkan, Peraturan Menteri Kesehatan mewajibkan tiap rumah sakit menyumbangkan 20 persen dari laba setiap bulannya dialokasikan untuk orang miskin.
Bukan hanya itu, setiap rumah sakit pemerintah diwajibkan menyediakan 105 dari seluruh tempat tidurnya untuk jatah orang miskin. Rumah sakit negeri, bahkan diwajibkan memberikan subsidi kepada pasien miskin sebesar Rp 22.500 per orang. Namun, kebijakan ini sepertinya tidak menghentikan sikap diskriminatif terhadap orang miskin yang merebak di rumah sakit. Salah satunya adalah yang dilakukan RS Bintang. Memang, kesalahan tidak bisa sepenuhnya disalahkan ke RS Bintang, tapi juga RS Klungkung.
Sebagai rumah sakit pemerintah, RS Klungkung seolah lepas tangan. Dengan alasan tidak memiliki peralatan memadai, pihak rumah sakit merujuk Ni Wayan Suardani ke RS Sanglah. Tentu alasan ini adalah alasan yang dicari-cari. Bisa jadi pihak RS Klungkung menolak mengoperasi Suardani karena dirinya mengantongi surat keterangan tidak mampu (SKTM) yang dia bawa waktu dirujuk bidan ke RS Klungkung.
Jika ini (tolak pasien miskin) betul terjadi, komitmen RS Klungkung pantas untuk dipertanyakan. Kalau perlu, pemerintah wajib menindak RS Bintang maupun RS Klungkung yang mengabaikan pasien miskin dengan menjatuhkan sanksi pidana bagi rumah sakit atau dokter yang berani menyandera pasien. Sanksi pidana ini patut dijatuhkan untuk efek jera agar tim medis tidak merasa kebal hukum. Apa dasarnya ?
Dasarnya adalah Pasal 304 KUHP. Pasal tersebut menyebutkan, barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4500.
Rumah sakit juga bisa dilaporkan dengan tuduhan melanggar Pasal 359 KUHP. Pasal ini mengatakan, barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Jadi, saatnya sekarang pasien miskin mengertak rumah sakit atau dokter yang menolak merawat mereka.(*)

Pertamina Harus Tanggung Jawab

CERITA langka bahan bakar minyak (BBM) jenis solar di Pelabuhan Benoa, Bali, bukan kali ini saja terjadi. Hampir tiga empat tahun terakhir, para nelayan yang mangkal di pelabuhan terbesar di Bali ini mengeluhkan minimnya pasokan minyak solar pada bulan Juni hingga Juli. Dampak yang dirasakan akibat kejadian ini, ratusan kapal penangkap ikan tidak bisa melaut. Total, jumlah kapal nelayan yang tidak bisa melaut saat ini membengkak dari sebelumnya 600 unit kapal menjadi sekitar 750 unit.
Banyaknya jumlah kapal yang tidak melaut disatu sisi bisa menganggu aktivitas pelabuhan. Maklum, pelabuhan Benoa bukan hanya diperuntukkan untuk pelabuhan nelayan tapi juga kapal pesiar dan kapal barang. Banyaknya kapal nelayan yang “terparkir” dikhawatirkan aparat keamanan menganggu keamanan dan keamanan kawasan pelabuhan itu. Maklum, dengan tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan, potensi anak buah kapal (ABK) melakukan tindak pidana sangat besar.
Tercatat saat ini jumlah ABK yang sedang menunggu nasib mencapai 9 ribu orang lebih. Banyaknya massa berkumpul tanpa pekerjaan jelas, berpotensi menganggu keamanan. Yang paling fatal, disamping menganggu keamanan, potensi pemerintah daerah kehilangan devisa dari sektor perikanan sangat besar terjadi. Sementara, sektor perikanan menjadi salah satu urat nadi perekonomian Bali disamping sektor pariwisata yang menjadi penyumbang PAD
terbesar selama ini.
Data Dinas Kelautan dan Perikanan Bali pada 2007 sendiri mencatat, produksi ikan tuna dari Bali mencapai 37,177 ton, sedangkan 2008 meningkat 25,26 persen menjadi 46.557 ton. Volume ekspor pada 2007 juga meningkat tujuh persen dari 29.843 ton menjadi 32.171 ton pada 2008. Untuk nilai ekspor pada 2007 mencapai USD 84 juta, meningkat 26 persen menjadi USD 106, 23 juta. Nilai eksport inipun hanya untuk komoditas tuna, belum untuk ikan hias dan ikan jenis lain yang melalui pelabuhan Benoa.
Fakta ini membuktikan, potensi perikanan Bali sangat besar. Untuk itu, Pemprov Bali harus turun tangan dengan mendesak Pertamina untuk segera mengambil langkah mengatasi kelangkaan minyak solar yang terjadi di pelabuhan Benoa. Desakan kepada Pemprov Bali patut disuarakan mengingat tidak cukup hanya Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) yang bersuara. Karena meski ATLI dengan lantang terus bersuara, toh hingga kini kelangkaan solar belum bisa teratasi.
Memang, sudah ada janji Pertamina akan mendistribusikan solar bersubsidi pasca ada pertemuan dengan ATLI Senin (8/6) lalu. Namun, janji itu harus tetap dikawal dengan melakukan pengawasan secara menyeluruh terhadap kinerja Pertamina. Maklum, perusahaan plat merah ini selalu mencari dalih bahwa kebijakan yang telah ditelurkan tidak salah. Pertamina berdalih ngadatnya suplai solar karena ada persyaratan administrasi yang belum dipenuhi pengusaha kapal. Diharapkan, dengan pengawasan bersama, kelangkaan solar di pelabuhan Benoa tidak terjadi lagi seperti sekarang.(*)

Butuh Lapas Baru

LAGI-lagi Lapas Kelas II A Kerobokan disorot. Kali ini menyangkut kaburnya Wayan Sonny Arnaya, 31, terpidana kasus perampokan yang dilumpuhkan Polsek Kuta dengan timah panas setelah melakukan aksi jambret di kawasan Kuta, dan Denpasar. Sonny ditangkap tepat di depan RS Kasih Ibu, Jalan Teuku Umar, Denpasar, Minggu (28/2) siang lalu sekitar pukul 13.00. Kasus Wayan Sonny Arnaya bukanlah kasus pertama yang terjadi di lembaga pemasyarakatan terbesar di Bali ini. Berpuluh-puluh kali, napi kasus narkoba, pencurian, perampokan, maupun judi, nekat kabur dengan memanfaatkan kelemahan sipir lapas.
Miris dan menjengkelkan, tentunya. Bagaimana mungkin napi yang seharusnya tinggal di dalam blok, bisa kabur dengan leluasa ditengah pengawasan super ketat. Apalagi, kaburnya napi bukan cerita baru. Hampir setiap tahun, ada saja napi yang di tahan di Lapas Kerobokan yang mencoba mangkir dari hukuman fisik dan kabur dari penjara. Wayan Sonny Arnaya, salah satunya. Dengan memanfaatkan kelengahan sipir yang menjaganya, Sonny yang berpura-pura pamit mencari makan setelah ditugasi membersihkan rubasan, kabur dan tidak kembali ke dalam blok. Ini adalah salah satu modus para napi kabur selain menyogok dan memanjat dinding lapas.
Pertanyaannya, sebegitu mudahkan Lapas Kerobokan dibobol penghuninya ? Sebegitu mudahkan para sipir dikelabuhi napi ? Tentu Kalapas dan jajaran Departemen Hukum dan HAM yang bisa menjawab. Merekalah yang bertanggung jawab menjamin para penghuni tidak kabur saat menjalani hukuman. Namun demikian, kesalahan tak bisa sepenuhnya diarahkan ke mereka semua. Melihat daya tampung Lapas Kerobokan yang hanya 350 orang, tapi dihuni lebih dari 900, tentu tidak masuk akal tidak akan terjadi masalah. Daya tampung yang melebihi kapasitas bisa jadi menjadi pemicu permasalahan yang tak dapat diselesaikan begitu saja.
Itu juga yang pernah diakui Dirjen Pemasyarakatan Untung Sugiono saat melakukan kunjungan kerja ke Lapas Kerobokan beberapa waktu lalu. Data Dirjen Pemasyarakatan sendiri menunjukkan, populasi narapidana hingga akhir 2009 tercatat sebanyak 130.075 orang. Sedangkan kapasitas yang mampu ditampung lapas se-Indonesia hanya 88.599 orang. Sehingga terjadi kelebihan kapasitas hingga 41.476 orang. Ironisnya, jumlah sipir yang tersedia hanya ada sebanyak 10.617 orang. Itu artinya, satu sipir harus mengawasi 48 tahanan dan narapidana. Padahal, idealnya satu sipir cukup menjaga 25 tahanan dan narapidana.
Menurut Untung Sugiono, over kapasitas inilah yang menjadi penyebab meningkatnya angka kriminalitas di lembaga pemasyarakatan. Seperti, munculnya kasus temuan narkoba, kabur dari lapas, dan sebagainya. Meski demikian, Dirjen Pemasyarakatan dan lingkup dibawahnya tak boleh berpangku tangan. Wacana membangun lapas baru dan lapas khusus (narkoba) harus kembali dilanjutkan, tak hanya jargon semata. Anggaran Rp 1 triliun yang pernah didengungkan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar untuk membangun 20-30 lapas baru pada tahun ini, harus didukung. Pertanyannya, kapan lapas baru di Bali bakal terwujud ? (*)

Kisruh Dunia Malam

KERIBUTAN Di tempat dunia gemerlap (dugem) sejatinya bukan sekali dua kali mewarnai tempat hiburan diwilayah Denpasar. Nyaris, sepanjang tahun, insiden yang mencoreng tempat hiburan selalu saja terjadi. Bahkan, dalam sepekan lalu, dua kali insiden keributan terjadi ditempat yang cukup akrab dengan minuman keras (miras) dan perempuan ini. Pertama di Karaoke New Star bilangan Jalan Gunung Soputan, Denpasar. Ditempat hiburan milik salah satu politisi parpol ternama Denpasar ini, jatuh satu orang korban. Dia adalah Kapten Susiyanto, Pasi Pam Bek Ang Kodam IX Udayana. Korban ditusuk tiga orang saat ajojing di lantai dansa.
Parahnya, keributan ditempat hiburan ini bukan sekali terjadi. Tercatat, lebih dari tiga kali, New Star diguncang keributan dalam setahun terakhir. Ironisnya, dari sekian kasus yang akhirnya dibawa ke pengadilan, kejadiannya dipicu ulah pengunjung dan oknum security setempat. Parahnya, belum tuntas polisi mengungkap kasus tersebut, kembali muncul kasus serupa di Karaoke Akasaka yang terletak di bilangan Jalan Teuku Umar. Hanya karena senggolan, Kholid Rosadi yang disebut-sebut buronan kasus penganiayaan di New Star Karaoke 2005 silam, menempeleng Bella Gracia. Bahkan, pelaku yang pernah merusak Terminal Ubung beberapa tahun silam, nekat menusuk IB Putu Budiana, dan Kadek Sutrisna.
Untuk kejadian di New Star Karaoke dengan korban Kapten Susiyanto, tentu kejadian tersebut menjadi tamparan tersendiri bagi institusi TNI. Bagaimana mungkin seorang perwira pertama bisa kelayapan di tempat hiburan malam yang notabane sarang tempat keributan ?. Oke, bisa saja korban berdalih dirinya hanya sebatas mencari hiburan. Tapi, haruskah ada keributan dan tidak bisa menghindari keributan itu ?. Bukannya, aparat keamanan punya tugas meningkatkan pengamanan, bukan membuat keributan. Bagaimana dengan Karaoke Akasaka ? Sama saja. Tercatat, beberapa kali kasus kekerasan terjadi di tempat hiburan ini. Mulai penembakan oknum security hingga ribut ditempat ajojing.
Dan, cerita kelam dua tempat hiburan ternama di Denpasar ini, berlanjut ditempat lain. Misalnya saja di Denpasar Moon dan Millenium, dua-duanya sudah almarhum. Sejarah kelam dua tempat hiburan ini bahkan tidak lebih suram. Tak heran, pemerintah setempat akhirnya menutup dua tempat hiburan ini dengan alasan tidak representative sebagai tempat hiburan. Tempat lain yang mencatat reputasi buruk adalah Bounty Bar and Diskotik di Jalan Raya Legian. Terakhir kali pada 12 April 2009 lalu, Sean Keith William Headifen, mantan marinir New Zealand menjadi samsak hidup Andreas Seran dkk. Akibat perbuatan mantan petinju nasional ini, Sean Keith tewas dipangkuan sang kekasih, Sarah Marie Whithbun, sebelum mendapat perawatan tim medis.
Pertanyaannya, haruskah ada korban baru kembali berjatuhan ? Tidak perlukah ada evaluasi secara menyeluruh oleh pemerintah untuk menata kembali tempat hiburan ? Tentu saja pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh Pemda, Polda dan Kodam. Dua institusi terakhir patut dimintai tanggung jawab karena merekalah penanggung jawab keamanan ditingkat daerah. Hilangkah semua ego, siapa yang patut dimintai tanggung jawab. Hilangkan pula “pungli” dari bos tempat hiburan malam yang masuk ke kantong pemerintah, kecuali pajak yang notabane adalah uang rakyat. Jika sudah dilakukan evaluasi, maka laksanakan. Untuk para pelaku kerusuhan, tangkap dan proses sesuai hukum yang berlaku. Jika semua tatanan ini sudah dilaksanakan, maka damailah Bali. Peace.(*)

Budaya Molimo dan Pengaruhnya

DALAM konteks masyarakat Jawa, istilah molimo sangat populer. Bahkan, pada zaman krisis seperti ini, maling (mencuri, korupsi), madat (nyabu), main (berjudi), minum (mabuk-mabukan), dan madon (main perempuan), hidup dan tumbuh subur di tengah masyarakat. Molimo ini merupakan penyakit masyarakat, dan sudah ada seumur hidup manusia di muka bumi. Praktek ini secara normatif jelas dilarang baik oleh agama dan hukum positif. Sayangnya, praktek itu semakin subur dan menjadi sumber pendapatan tambahan oknum-oknum aparat yang seharusnya menjadi garda terdepan untuk memberantasnya.
Dan, ditengah kehidupan masyarakat modern dewasa ini, praktek molimo tak jua kehilangan akar. Tak terkecuali di kabupaten/kota di Bali. Sebenarnya pernah ada wacana untuk melokalisasi perjudian, sama seperti melokalisasi prostitusi. Wacana itu pernah diuraikan mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso beberapa tahun silam. Namun, akhirnya kandas ditengah jalan karena ditentang organisasi kepemudaan dan keagamaan.
Bicara masalah perjudian sebenarnya sudah ada payung hukum yang mengatur. Mulai Keppres tahun 1975 tentang Larangan Perjudian, UU No 7/1974 tentang Penertiban Perjudian, Pasal 303 KUHP, serta PP No 9/1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian. Tapi sayang, berbagai payung hukum tersebut hanya bagus dan indah di atas kertas. Implementasinya, law enforcemenf-nya ngadat. Buktinya segala bentuk perjudian mulai dilakukan secara terang-terangan tidak hanya di pinggiran kota dan gang-gang sempit, tapi juga menyebar ke pedesaan.
Bahkan yang menarik, mereka telah melakukan metamorphose dari bentuk judi konvensional ke dalam struktur judi modern. Seperti yang di ungkap jajaran Polres Karangsem yang berhasil menggulung sindikat judi Three Reward Emas. Di bumi tanah aron, judi dengan struktur pemerintahan ini dikenal dengan sebutan Judi Camat. Disebut Judi Camat karena dalam proses pengundian, judi ini menggunakan istilah camat sebagai koordinatornya. Meski punya nama keren, sejatinya modus operasi Three Reward Emas tak jauh beda dengan toto gelap.
Menurut polisi, kemiripan ini ditunjukan dengan pola pemasangan angka di tingkat pengecer. Pasang dua angka tarifnya Rp 1.000. Kalau menang uang yang didapat sebesar Rp 60 ribu. Selanjutnya, menang tiga angka yang didapat Rp 150 ribu. Sementara menang empat angka, uang yang didapat sebesar Rp 2,5 juta. Apapun bentuk, nama, modus maupun gerakannya, judi tetaplah judi. Perlu kesamaan paham untuk memberantas penyakit masyarakat ini. Banyak cara yang bisa dilakukan. Salah satunya mengimplementasikan semua ketentuan perundang-undangan yang telah ada. Karena patut dicatat, diatas kertas, undang-undang dan peraturan sudah bagus dan memadai. Tapi, implementasinya masih nihil.
Cara lain adalah perlunya pendidikan agama dan budi pekerti di rumah tangga, Pendidikan keluarga merupakan batu bata pertama untuk meletakkan fondasi nilai dan budi pekerti. Pendidikan ini harus dikembang tumbuhkan di lembaga-lembaga pendidikan. Tak kalah penting adalah peran media massa untuk bisa bersikap secara arif terhadap berbagai penyakit masyarakat. Kearifan itu diperlukan untuk membentuk sikap dan perilaku masyarakat yang positif. Selama ini, sebagian media terkesan masih kurang peduli terhadap dampak negatif pemberitaan atau penayangannya penyakit masyarakat ini.(*)

Habitus Baru Kebijakan Finansial

Habitus Baru Kebijakan Finansial

Ahmad Baidlowi, bukan nama sebenarnya, seorang pengusaha sol sepatu sukses. Ia membuka usaha di sentra industri sepatu di Jawa Timur. Di masa kejayaan, ia sangat dipercaya pemasok. Senantiasa dikirimi barang dagangan bernilai miliaran rupiah tanpa membayar terlebih dulu. Di menara kesuksesan Baidlowi terlena. Ia mengidap sindrom kepuasan finansial dini. Sebuah sedan baru berharga dua ratus juta rupiah dibeli dengan cara mengangsur. Ia ingin, dalam pergaulan sosial, memeragakan diri sebagai orang sukses.

Baidlowi menikah lagi dengan istri kedua di luar kota. Ia sungguh menikmati hidup sebagai pengusaha makmur. Anak-anak disekolahkan di perguruan swasta favorit dengan iuran mahal. Anak-anak dibiasakan hidup di lingkungan orang kaya. Sekolah diantar jemput mobil bagus. Belajar di kelas berpendingin ruangan. Tahun 2003 industri sepatu lesu. Banyak pengusaha sepatu gulung tikar. Bisnis Baidlowi pun kena imbas. Omset sol sepatu terus menukik turun. Sementara gaya hidup tetap berpacu di atas ban berjalan hedonisme (hedonic treadmill). Pola hidup Baidlowi seperti tikus hamster dalam jebakan putar. Kenaikan pendapatan diikuti dengan kenaikan kebutuhan pencetus keinginan (need create want). Semakin kencang hamster berlari semakin banter pula putaran jebakannya. Satu demi satu bilyet giro (BG) yang dipegang pemasok ditolak bank. Pemasok enggan berurusan dengan Badlowi. Bagai lenyap ditelan bumi, Baidlowi menghilang dari peredaran di tengah derasnya tagihan bertubi relasi bisnis. Sindrom ejakulasi finansial dini bersama sindrom SMS kuadrat (senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain sukses) merupakan patologi endemik yang merajalela di kalangan masyarakat. Ahmad Baidlowi, meminjam kerangka berpikir Iman Supriyono, dalam buku FSQ, merupakan contoh ekstem manusia yang tidak cerdas finansial spiritual (FSQ). Buku FSQ didesain Iman Supriyono, konsultan strategic finance, buat membantu khalayak memahami mekanisme finansial yang ditempatkan di atas landasan kokoh kecerdasan spiritual. Profil manusia cerdas finansial spiritual, menurut direktur SNF Consulting Surabaya itu, adalah orang yang memiliki kejujuran dan setia pada komitmen. Financial Spiritual Quotient (FSQ) dengan rumusan numerik Financial Quotient (FQ) memberikan framework operasional bagaimana mencapai prestasi finansial dengan tetap berpegang pada nilai-nilai spiritual dalam kondisi sedilematis apa pun. Rumusan numerik perhitungan skor FQ memacu orang untuk cerdas mencari uang dengan sumber-sumber halal, terbebas dari perbuatan tercela dan ketergantungan pada orang lain. Makin tinggi skor FQ, makin sukses finansial spiritualnya. Skor FQ menunjukkan jumlah orang yang bisa mendapatkan manfaat finansial melalui kerja dan investasi si pemilik skor tersebut. FQ 1 mampu menanggung beban finansial satu orang (diri sendiri). FQ 2 mampu menanggung beban finansial 2 orang, yaitu dirinya sendiri dan satu orang lain yang beban finansialnya setara dirinya. FQ 3 mampu menanggung beban finansial 3 orang, yaitu dirinya sendiri, dan dua orang lain yang setara dengannya. Prestasi FSQ orang tua dianggap gemilang bila anak-anaknya bisa mencapai FQ 1 maksimum usia 12 tahun. Ibarat kuliah orang tua dianggap DO bila anak-anak mereka mengidap mentalitas 12 M: Madep mantep melu moro tuwa. Moro tuwa nesu minggat. Moro tuwa mati maris (Berteguh hati hidup bersama mertua. Mertua marah, pergi. Mertua meninggal, nunggu pembagian harta warisan). With money you can buy: a house, a clock, a bed, a book, a position, blood, sex, and see a doctor. But you can’t buy a home, time, sleep, knowledge, respect, life, love, and good health (Dengan uang Anda bisa membeli rumah, jam, tempat tidur, jabatan, darah, dan berobat ke doctor. Kendati demikian Anda tidak bisa membeli hunian yang damai, waktu, istirahat nyaman, pengetahuan, kehormatan, kehidupan, cinta, dan kesehatan). Peribahasa Tiongkok modern perihal uang tadi kiranya relevan buat mengapresiasi profil-profil manusia yang cerdas finansial spiritual sebagaimana dikisahkan Iman Supriyono secara inspirasional dalam buku FSQ. Uang bukan segala-galanya tapi tanpa uang menjadi susah segala-galanya. Kopral Satu (Koptu) Wagimin adalah serdadu kelahiran Caruban, Madiun, yang berdinas di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Gajinya tidak lebih dari 1 juta rupiah per bulan. Koptu Wagimin adalah tentara berpangkat rendah tapi FSQ-nya tinggi. Mula-mula ia berhutang dengan agunan gaji buat membeli sapi. Ia menitipkan sapi-sapinya pada para transmigran Jawa di Pelaihari �60 kilometer selatan Banjarmasin. Seekor induk sapi biasanya beranak setahun sekali. Dengan 24 ekor sapi betina, setiap tahun Koptu Wagimin memperoleh 24 pedet (anakan sapi). Dengan sistem nggaduh (bagi hasil) itu pemilik dapat bagian 12 ekor sapi. Harga seekor sapi yang sudah bisa dipisah dari induknya paling murah Rp 3 juta. Artinya, Koptu Wagimin mendapat income Rp 3 juta dari seekor anak sapi setiap bulan. Pangkat kopral gaji jenderal. Kehidupan Koptu Wagimin migunani tumraping liyan (berguna bagi sesama). Alhadits mengajarkan sebaik-baiknya orang adalah yang paling berfaedah bagi sesamanya. Koptu Wagimin tidak hanya menghidupi keluarga melainkan memberi lapangan kerja buat masyarakat pedesaan yang nggaduh sapi-sapinya.

Fuad Fanani, bukan nama sebenarnya, manajer pemasaran sebuah perusahaan asuransi papan atas di Jakarta, ingin berterima kasih kepada orang tuanya. Dia bekerja keras dan menabung agar orang tuanya yang sudah mulai renta bisa menunaikan ibadah haji. Senyum bahagia kedua orang tua mengenakan ihram di Mekah dan Madinah se nantiasa membayangi Fanani setiap hari. Suara azan merdu dari Masjidil Haram seakan mengiang di alam bawah sadarnya. Semangat kerja yang goyah di tepian rutinitas monoton kembali terdongkrak tatkala Fanani teringat nazarnya. Fanani akhirnya bisa memberangkatkan kedua orang tuanya menunaikan rukun Islam kelima pada 2007. Kullu mauludin yuladu alal fitrah. Setiap manusia dilahirkan dalam fitrah. Begitu bunyi potongan sebuah hadits. Setiap orang dibekali fitrah untuk belajar menjadi orang yang cerdas finansial spiritual. Orang yang memiliki komitmen kuat pada keluhuran, dalam bahasa Arab, disebut ilah. Koptu Wagimin dan Fuad Fanani adalah orang yang setia pada nilai-nilai spiritual dalam kondisi dilematis apa pun. Orang yang memiliki visi paripurna kokoh hidup dengan satu tujuan berbakti kepada Sang Pencipta. (*)

Susahnya Tertibkan Vila Bodong

TAK bisa dipungkiri, pelanggaran tata ruang di Bali makin marak saja belakangan ini terjadi. Ironisnya, hampir di seluruh kabupaten/kota di Bali, terjadi pelanggaran tata ruang. Baik pelanggaran jalur hijau, sempadan pantai, sempadan sungai, penyerobotan lahan basah, kawasan suci, dan pelanggaran lainnya. Bahkan, belakangan ini muncul berbagai bangunan yang tak sesuai daerah peruntukan. Seperti, bangunan hotel, vila, permukiman atau pun bangunan untuk kegiatan usaha.
Celakanya, peraturan daerah (perda) yang ada di daerah sebagai pengawal pembangunan sepertinya tak berdaya. Bukti itu nyata terjadi di Badung dan Gianyar. Meski banyak vila bodong yang ada di Kota Seni ini, namun Satpol PP tak kuasa melakukan pembongkaran. Selain tidak ada perintah dari bupati/walikota selaku penguasa wilayah, ada upaya pengkondisian yang dilakukan investor dengan warga sekitar sebelum vilanya di bangun. Parahnya, pengkondisian yang dilakukan investor tersebut langsung mengarah ke desa adat.
Sebelum mengajukan izin ke pemerintah daerah, dengan memanfaatkan kelicikannya, para investor ini mendekati bendesa adat dengan beragam cara. Mungkin dengan iming-iming penanjung batu yang besarannya ditentukan oleh kedua belah pihak, akhirnya investor itupun mendapatkan rekomendasi pembangunan vila. Cukup simpel dan mudah. Tapi, dampak sikap sembrono ini cukup luar biasa. Selain dampak ekonomi, ada juga dampak psikologis. Yang jelas, secara ekonomi keberadaan vila bodong tak membawa keuntungan apapun bagi daerah.
Pajak yang harusnya dibayar investor maupun tamu yang menginap ditempat tersebut, justru masuk ke kantong pribadi sang investor. Kerugian lainnya, denyut nadi perekonomian yang seharusnya dirasakan warga sekitar, hanya bisa dinikmati investor. Sementara secara psikologis, pelanggaran perizinan yang dilakukan investor akan mengundang investor maupun masyarakat melakukan pelanggaran serupa. Itu sama saja menjadikan perda yang disusun dewan dengan anggaran jutaan rupiah bak macan ompong.
Dan, kekhawatiran itu terbukti. Meski terbukti melanggar, Satpol PP Gianyar yang punya wewenang melakukan penertiban tak bisa berkutik. Toh, jika dipaksa untuk melakukan pembongkaran, Satpol PP tak akan berani. Mereka khawatir berhadapan langsung dengan masyarakat yang terlanjur memberikan rekomendasi. Tak heran, sebutan perda tata ruang bak macan ompong, semakin tak terbantahkan. Perda ini hanya mengigit ketika ada warga ekonomi lemah membangun rumah tapi tidak mengurus izin.
Namun, ketika berhadapan dengan kelompok berduit, perda ini tak punya taji. Parahnya lagi, pemkab/pemkot sepertinya tak kuasa membendung ”serangan” pelanggaran tersebut. Mereka cenderung mendiamkan dan akhirnya perdanya harus mengalah untuk disesuaikan dengan fakta di lapangan. Haruskah seperti itu ? Semestinya tidak. Pemerintah selaku pemegang amanah rakyat punya hak melindungi kepentingan yang lebih besar. Karena itu segala pelanggaran harus ditertibkan dengan segala resiko yang terjadi.(*)